TJIPTO MANGOENKOESOEMO, Menggugat Penguasa Surakarta
Oleh Iswara N. Raditya


Tjipto Mangoenkoesoemo menggugat penguasa Surakarta. Serangan pertama Tjipto dilancarkan lewat Panggoegah, media berbahasa Jawa yang dipimpinnya.
Pada edisi 9 Juni 1919, Tjipto mengatakan, masyarakat sangat terbebani oleh kewajiban memelihara dua kraton, Kasunanan dan Mangkunegaran. Tjipto lantas mengusulkan supaya Sunan, juga Mangkunegara, dipensiun saja dan diberi gaji bulanan 2000 gulden.
Dalam Panggoegah 16 Juni 1919, Tjipto menulis bahwa Amangkurat II beserta keturunannya adalah budak-budak feodal kolonialis Belanda. Tjipto melanjutkan kampanye anti-raja melalui rapat-rapat Insulinde, Volksraad, dan tentu saja via Panggoegah hingga edisi Oktober 1919:
“Tak bisa disangkal lagi, doea keradjaan itoe memangsa pendoedoeknja, bahwa mereka tak bisa bertahan hidoep tanpa mengisap rakjat sampai ke soemsoemnja, tanpa melonggarkan pajak jang begitoe mentjekik... Saja merasa bahwa segala kemewahan itoe biajanja haroes dibajar dari kantong orang kromo... pada achirnja orang kromo itulah jang haroes ‘menghidoepi’ radja.”
Aksi Tjipto tersebut memantik murka kubu pro-kerajaan, yang dilakonkan para priyayi Boedi Oetoemo (BO) serta kalangan abdi dalem lainnya, termasuk Samanhoedi, pendiri Sarekat Islam, juga Martodharsono melalui suratkabar Darma Kandha dan Djawi Hiswara. Bersepakatlah bumi feodalisme Jawa untuk membentuk Komite Anti-Tjipto. Tapi Tjipto semakin “menggila”, mengkritisi raja dengan pelbagai cara. Ia memang sangat membenci gaya hidup feodal. Bahkan, jauh di masa sebelumnya, pada 1909, Tjipto dengan sengaja naik kendaraan di depan kraton Sunan di Surakarta untuk menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kalangan aristokrat kerajaan.
Tjipto adalah salahsatu pribumi terpelajar pertama yang dengan sadar berpikir tentang kemajuan bumiputera dalam kerangka politik. Kepentingan kaum kromo alias kalangan rakyat jelata adalah target utama pejuang berjuluk ksatria sejati ini. “Akoe adalah anak dari rakjat, anak si kromo,” begitu yang sering ditegaskannya semasa studi di sekolah berpendidikan Belanda.
Bermula lewat kalam, Tjipto mulai menajamkan gagasannya pada 1907 melalui suratkabar liberal yang terbit di Semarang, De Locomotief. Tjipto semakin terlibat dalam arus pergerakan nasional dengan ikut menggagas BO pada 1908 dan menjadi komisarisnya. Karir Tjipto di BO tak lama karena ketidakcocokannya dengan Radjiman Wedyodiningrat beserta kelompok konservatifnya yang kukuh memertahankan BO sebagai gerakan tulen Jawa. Sedangkan Tjipto menginginkan BO menjadi organisasi politik terbuka dan demokratis dengan beranggotakan rakyat banyak, bukan hanya priyayi, dan mencakup seluruh wilayah Hindia.
“Boekanlah toedjoeankoe menghilangkan bangsa ini dari sifat-sifat jang choesoes dan dari kebudajaannja, tetapi tjoema sekedar membela dan menoendjoekkan hak-hidoep bagi bangsa Hindia,” ucap Tjipto kala itu.
Mangkir dari BO, Tjipto menyatu dalam Tiga Serangkai bersama Douwes Dekker -yang menjadi guru jurnalistiknya- dan Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Mereka kemudian menerbitkan suratkabar berbahasa Belanda De Expres pada 1 Maret 1912. Tjipto menjabat anggota Dewan Redaksi. Ranah perjuangan Tjipto meluas dengan mendirikan Indische Partij (IP) pada 5 Oktober 1912 di Semarang. De Expres segera mewujud sebagai kompor nasionalisme yang dipupuk Tjipto seperkawanan. Dalam De Expres edisi 19 Nopember 1912, Tjipto menulis, “Tidak boleh diloepakan, bahwa kata-kata jang berapi itoe boeat djiwa kita sama akibatnja dengan barang-barang jang mengenakkan bagi badan.”
Namun, suratkabar radikal itu terancam maut. Akibat artikel keras Soewardi Soerjaningrat dengan tajuk Als ik Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda. De Expres diberangus pada pertengahan 1913. Tiga Serangkai, yang membentuk Comite Boemipoetera untuk memprotes peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, dibuang ke Belanda. Indische Partij dinyatakan terlarang.
Setelah kembali ke tanahair pada pertengahan 1914, Tjipto masuk Insulinde, organisasi pengganti IP, dan mendirikan suratkabar Goentoer Bergerak di Bandung bersama Mas Marco Kartodikromo. Tjipto aktif memimpin media-media propaganda Insulinde dengan menerbitkan Modjopahit, De Voorpost, dan De Indier sebagai hoofredacteur. Tjipto terpaksa keluar dari Insulinde pada 1916 karena ancaman pembuangan akibat propagandanya yang keras dan terbuka. Tjipto kembali ke Solo dan bekerja sebagai dokter swasta sembari membuka kelompok diskusi, Kartini Club.
Tjipto Mangoenkoesoemo lahir di Ambarawa-Jawa Tengah pada 1886. Setelah lulus sekolah menengah ELS pada 1899, Tjipto melanjutkan ke sekolah dokter Jawa, STOVIA, dan tamat tahun 1905. Sempat bekerja sebagai dokter pribumi pada dinas pemerintah di Banjarmasin (1905) dan di Demak (1906), Tjipto pernah dianugerahi tanda jasa Ridderkruis (lencana kehormatan Belanda) sebagai sukarelawan dalam pembasmian wabah pes di Malang pada 1910.
Pada 1918, Tjipto bergabung lagi ke Insulinde yang saat itu digawangi ulama radikal, Hadji Misbach. Tjipto segera menerbitkan media propaganda lagi, antara lain Panggoegah dan majalah bulanan Indische Beweging. Pada Februari 1918, Tjipto diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat bentukan kolonial) mewakili Insulinde, bersama tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Tjipto berkomentar dalam Indische Beweging edisi 1 April 1918, “Soesoenan Volksraad jang pertama ini tidaklah memenuhi kehendak kita tetapi berguna djuga bagi tanahair.”
Kecaman-kecaman Tjipto yang keras terhadap kolonialis Belanda, feodalis Jawa, juga sepak-terjang membeberkan penderitaan petani dengan menggalang boikot dan mogok kerja, membuat pemerintah Hindia kembali naik pitam. Dampaknya, Tjipto diusir ke Bandung dan menjadi tahanan kota. Lalu, pada 19 Desember 1927 diputuskan, Tjipto akan diasingkan, kali ini ke Banda Neira di Kepulauan Banda. Selama 14 tahun di pembuangan, Tjipto terserang asma akut.
Dari Banda, Tjipto dipindahkan ke Bali terus ke Makasar, dan tak lama kemudian diungsikan lagi ke Sukabumi-Jawa Barat. Karena penyakitnya kian parah, Tjipto dibawa ke Jakarta untuk dirawat di rumah sakit Jang Seng Ie. Namun, jiwanya tiada tertolong. Pada 8 Maret 1943, sekitar jam 6 pagi, Tjipto menghembuskan nafas penghabisan. Jenasahnya dimakamkan di kampung halamannya di Ambarawa.***
Iswara N. Raditya, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Tingkat Akhir. Bergiat di Balai Kajian dan Pengembangan Kebudayaan Melayu/www.MelayuOnline.com. Tinggal di Yogyakarta.
- Sumber Tulisan: Taufik Rahzen, dkk. 2007. Tanah, Air, Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia. Jakarta: Iboekoe.
- Sumber Foto: Reproduksi Foto Milik Noor Hilmi, Diunduh dari www.flickr.com.
0 Response to "TJIPTO MANGOENKOESOEMO, Menggugat Penguasa Surakarta"
Posting Komentar