Berpikir Historis Ala Wineburg


Sejarah sudah mengalami perubahan yang besar dalam beberapa puluh tahun terakhir ini. Sejarah bukan lagi hanya menghafal tanggal-tanggal peristiwa atau fakta-fakta tetapi merupakan lumbung yang kompleks dalam kehidupan manusia. Inilah kesan yang paling mendalam ketika membaca buku “Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan Mengajarkan Masa Lalu”.
Membaca buku sejarah dengan terampil, membaca dokumen sejarah dengan kritis, membaca peristiwa sesuai dengan konteks, berdiskusi, evaluasi dan membuat guru sejarah bisa dilihat, sampai kekaburan moral dalam kelas sejarah menjadi topik yang dikupas oleh Sam Winerburg dalam bukunya.
Alasan mengapa belajar sejarah menjadi ulasan pembuka buku Sam Winerburg, Profesor Jurusan Pendidikan di Stanford University dan Profesor Jurusan Sejarah. Menurut Sam,

Batu, Seragam, dan Kekuasaan


Presiden Soekarno pernah bilang bahwa, “Di tengah-tengah (lapangan) harus dibangun sebuah monumen kemerdekaan Indonesia, dan ia harus terlihat dari jarak seratus kilometer.” Para seniman pun sibuk. Para oposan Soekarno banyak memprotes pembangunan proyek-proyek raksasa itu di tengah ekonomi yang tak sehat.
Merespon kecemasan banyak orang dengan ide membangun yang besar-besar itu, Henk Ngantung, seniman kenamaan, mengucap sepotong kalimat: “Beras perlu, tetapi batu pun bernilai.” Di tengah kontroversi tersebut diadakan sayembara desain monumen yang bakal dibangun.
September 1955, Sayembara Tugu Nasional yang diumumkan tim juri yang diketuai Presiden Soekarno sendiri. Ada empat pemenang sayembara tahap pertama: ”Pelukis Rakjat” dari Jogja

Menelusuri Jejak Leluhur Timor

  • Judul Buku: Raja-Raja Amanatun yang Berkuasa 
  • Penulis: Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek 
  • Penerbit: Yogyakarta, Pustaka Pelajar 
  • Tahun Terbit: 2007
  • Tebal: x + 176 halaman
Oleh Iswara N. Raditya
Buku ini menjadi referensi yang cukup penting karena sumber-sumber cetak tentang sejarah Timor masih sangat langka. Apalagi, penulis buku ini, Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek, adalah putra dari raja terakhir Amanatun, salah satu kerajaan yang mengawali

Ahmad Dahlan: Menanggapi Surat Ancaman

 
“Kalau Kyai ingin selamat, jangan bertablik ke…….Djawa Timur. Kalau berani ke-Djatim awas Kyai pulang tinggal nama”. Begitu bunyi surat ancaman itu. Tapi laki-laki bersosok kecil, tetapi tidak terlalu kurus, dengan kulit hitam manis dan berjangut yang diperlihara ini, tidak gentar. Ia tetap datang ke Djawa Timur, membawa istrinya pula.
Linggis, keris, bendo dan arit sudah disiapkan untuknya. Dengan tenaganya Kyai maju dalam sidang menuju ke podium. Sesudah salam, Kyai membaca ayat-ayat Al-Quran yang lagunya merayu-rayu, seolah-olah memohon kepada Allah agar tetap dilindungi.
Patah kata dakwah diucapkan Kyai, tambah lambah kian menarik. Akhirnya ancaman yang datang musnah.  Senjata-senjata yang jadi pusaka diletakan di bawah kursi. Kyai itu adalah Ahmad Dahlan.

Search

Powered by Blogger