Batu, Seragam, dan Kekuasaan


Presiden Soekarno pernah bilang bahwa, “Di tengah-tengah (lapangan) harus dibangun sebuah monumen kemerdekaan Indonesia, dan ia harus terlihat dari jarak seratus kilometer.” Para seniman pun sibuk. Para oposan Soekarno banyak memprotes pembangunan proyek-proyek raksasa itu di tengah ekonomi yang tak sehat.
Merespon kecemasan banyak orang dengan ide membangun yang besar-besar itu, Henk Ngantung, seniman kenamaan, mengucap sepotong kalimat: “Beras perlu, tetapi batu pun bernilai.” Di tengah kontroversi tersebut diadakan sayembara desain monumen yang bakal dibangun.
September 1955, Sayembara Tugu Nasional yang diumumkan tim juri yang diketuai Presiden Soekarno sendiri. Ada empat pemenang sayembara tahap pertama: ”Pelukis Rakjat” dari Jogja yang memasukkan rencana yang dibuat secara kolektif dan memakai sandi ”Perak”; sekira 8 mahasiswa Fakultas Teknik Tinggi Jurusan Bangunan dari Bandung mengajukan rencana dengan sandi ”Ratna”; dari Bogor ada F. Silaban yang mengirimkan rencana bersandi ”Bhineka Tunggal Ika”; dan ada Nur Alamsjah dari Jakarta yang rancanganya dinamai ”Hayal”.
Henk Ngantung, Prof. Dr. Prijono, Mr. Muhammad Jamin, dan Ir. Djuanda adalah juri yang mengesekusi hasil sayembara. Usai melakukan pengumuman Sayembara Tugu Nasional mereka mengadakan kuliah aneka warna yang merupakan suatu keutuhan yang harmonis dan begitu menarik. Prof. Prijono berbicara tentang ”Tugu Dalam Sejarah Kehidupan Manusia”, Mr. Jamin tentang “Tugu Sebagai Tjermin Revolusi Rakjat Indonesia”, sedangkan Ir. Djuanda tentang “Arsitektur dan Tugu Nasional”, dan Henk Ngantung tentang “Arti Tugu Nasional Bagi Kehidupan Kebudayaan Indonesia”.
Monumen Nasional (Monas) yang tinggi itu terus dibangun Soekarno, diketuai Priyono yang menjabat sebagai menteri pendidikan. Saat pecah peristiwa 1 Oktober 1965, Monas belum sempurna dibangun. Deskripsi tertulis mengenai gambar dan adegan-adegan serta sketsa rancangan diorama menunggu persetujuan Soekarno. Empat tahun kemudian, setelah terjadi transisi Orde dari Lama ke Orde Baru, tepatnya pada tahun 1969, Suharto kembali memperhatikan Monas (h.52). Tema-tema sketsa versi lama masa Demokrasi Terpimpin tak pernah dipasang dalam Monas.
Suharto memiliki kebijakan sendiri. Nugroho Notosuanto diangkat  sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI, untuk mengawasi representasi masa lalu nasional. Hasilnya jelas: museum memperagakan sejarah dengan memproyeksikan peran militer yang kian mantab. Tentang penekanan peran militer, Katrine menggambarkan, dalam museum bagian B, misalnya, ”Pahlawan Diponegoro”, diubah menjadi ”Perang Diponegoro”, demikian pula dalam adegan Imam Bonjol dan Sisingamangaraja. Menurut Katrine, pergantian kata pahlawan menjadi perang adalah usaha menonjolkan tradisi kesatriaan atau kepajuritan untuk membenarkan peran militer Orde Baru yang semakin meningkat dalam politik dalam negeri. Adegan ”lahirnya militer Indonesia” mengalami penyesuaian menarik dengan penambahan latar belakang Borobudor, sebagai lambang kebesaran masa lalu (h. 55).
Nugroho juga mengurangi jumlah adegan Soekarno dan lebih menonjolkan peran kultus Suharto. Ia menyelipkan Suharto, bersama insan militer lain, ke dalam adegan-adegan baru, seperti Pembebesan Irian Barat, Hari Kesaktian Pancasila, dan Surat 11 Maret (h.59). Proses masa peralihan digambarkan melalui diorama dengan mengambil beberapa peristiwa seperti ”Hari Kesaktian Pancasila”, ”Aksi-aksi Tri Tuntutan Rakyat” dan ”Surat Perintah 11 Maret”.
Pada bab lain (Bab II) Katrin mencoba memperkenalkan sosok pribadi Nugroho Susanto sebagai tokoh kunci historiografi resmi yang diterbitkan pada masa Orde Baru. Lewat bukunya, Katrine juga berupaya melihat model militer tentang feminitas yang dipaparkan dalam representasi wanita selama Revolusi (Bab V), dan selama transisi Orde Baru (Bab III), dan model maskulin yang diadopsi militer (Bab IV). Katrine mamandu kita mengunjungi museum yang menjadi tanggung jawab langsung Pusat Sejarah Angkatan bersenjata seperti Satria Mandala, Monumen Pancasial Sakti, Museum Waspada Purbawisesa, Museum Keprajuritan Nasional, dan Museum Penghianatan PKI lengkap dengan katalog kritis simbol tersembunyi di balik diorama.
Katrine mencermati kecenderungan Indonesia untuk menggunakan sejarah sebagai alat untuk memupuk nasionalisme maupun perlawanan bisu. Baik rezim Orde Baru mapun Demokrasi Terpimpin sama-sama menggunakan sejarah  untuk melegitimasi rezim. Orde Lama menggunakan gagasan Revolusi Belum Selesai dan Orde Baru menggunakan Pancasila untuk mendukung ideologi gagasannya. Bedanya, selama Orde Baru, militer naik ke panggung dengan memproduksi dan memantau gambaran-gambaran masa lalu Indonesia.
Katrine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer membantu kita untuk tak terjerembab tatkala menikmati episode-episode sejarah yang dipaparkan pada sebuah bangunan bernama museum. Museum adalah Sebuah bangunan kebudayaan yang tidak hanya menjadi salah satu sarana komunikasi antara masa lalu dan masa datang tetapi bisa digunakan sebagai alat untuk melegitimasi serta mendukung sebuah ideologi tertentu. Sebuah tumpukan batu pun bisa menjadi penanda identitas politik dan budaya.
  • Judul Buku: Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer 
  • Penulis: Katrine E. McGregor 
  • Penerbit: Syarikat, 2008 
  • Tebal: 459+xxvii Halaman

0 Response to "Batu, Seragam, dan Kekuasaan"

Posting Komentar

Search

Powered by Blogger