Menelusuri Jejak Leluhur Timor

  • Judul Buku: Raja-Raja Amanatun yang Berkuasa 
  • Penulis: Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek 
  • Penerbit: Yogyakarta, Pustaka Pelajar 
  • Tahun Terbit: 2007
  • Tebal: x + 176 halaman
Oleh Iswara N. Raditya
Buku ini menjadi referensi yang cukup penting karena sumber-sumber cetak tentang sejarah Timor masih sangat langka. Apalagi, penulis buku ini, Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek, adalah putra dari raja terakhir Amanatun, salah satu kerajaan yang mengawali sejarah Timor, sehingga kapabilitas buku ini cukup bisa dipertanggungjawabkan. Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek, lahir di SoE, NTT, pada 31 Juli 1965, merupakan lulusan Institut Teknologi Malang (Sarjana Teknik, 1995) dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Magister Teknik, 2003).  Sekarang, pangeran Amanatun ini bekerja di pemerintahan daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (hlm. 175).
Kerajaan Amanatun, seringpula disebut sebagai Kerajaan Onam, merupakan salah satu peradaban tertua di Timor Tengah Selatan. Pada masa pendudukan kolonial Hindia Belanda, Timor Tengah Selatan dikenal dengan nama Zuid Midden Timor hingga pada akhirnya berganti nama Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi provinsi setelah negara Republik Indonesia resmi berdiri. Selain Amanatun, dua kerajaan besar di Timor adalah Kerajaan Belu dan Kerajaan Mollo. Ketiga kerajaan ini masih terikat persaudaraan sedarah.
Dalam buku ini, Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek memaparkan sejarah panjang leluhurnya. Di zaman kuno, seperti yang tercatat dalam buku ini, leluhur orang Timor bermula dari kedatangan Tei Liu Lai, Kaes Sonbai, dan Tnai Pah Banunaek yang pada akhirnya memimpin tiga kerajaan besar: Tei Liu Lai mendirikan Kerajaan Belu, Kaes Sonbai mendirikan Kerajaan Mollo, dan Tnai Pah Banunaek memimpin Kerajaan Amanatun.
Nama “Amanatun” berasal dari kata “Ama” dan “Mnatu”, yang berarti "Bapak" dan “Emas". Sedangkan penyebutannya sebagai nama kerajaan disebabkan karena Raja Tnai Pah Banunaek senang mengenakan busana dan perhiasan dari emas. Kerajaan yang beribukota di Nunkolo ini merupakan kerajaan yang terletak paling selatan di wilayah Timor Tengah Selatan (hlm. 3).
Mulanya, Kerajaan Amanatun hanya meliputi wilayah-wilayah kecil, termasuk Noebone dan Noebanu, atau yang dulu disebut juga sebagai wilayah Anas. Anas merupakan sebuah wilayah di bawah kuasa Dinasti Nesnay. Berdasarkan Gouvernement Besluit (Keputusan Pemerintah Hindia Belanda) No. 2 Tahun 1913, Anas bergabung dengan wilayah Timor Tengah Selatan dan menjadi distrik dari Kerajaan Amanatun.
Melalui buku ini, Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek juga menjelaskan riwayat Kepulauan Timor, yang sudah tersurat sejak tahun 1350, serta menggambarkan hubungan para penguasa Timor dengan bangsa-bangsa Eropa, yakni Portugis dan Belanda. Diceritakan, pada 11 November 1749, Belanda dan Portugis terlibat perebutan tanah jajahan di Timor, konflik ini dikenal sebagai Perang Penfui. Kerajaan Amantun berdiri di belakang Portugis karena tidak setuju dengan rencana Belanda yang ingin membagi wilayah di Timor meski pada akhirnya Kerajaan Amanatun jatuh juga ke tangan Belanda yang berhasil mengalahkan Portugis.
Upaya penyatuan beberapa kerajaan yang ada di wilayah Timur Tengah Selatan dalam suatu wilayah administratif mulai tampak sejak dekade kedua abad ke-20. Pada 1920, Kota Soe ditetapkan menjadi ibukota Zuid Midden Timor atas kesepakatan bersama dari ketiga raja yang berkuasa di sana. Ketiga raja itu antara lain Raja Lay Akun Oematan (Kerajaan Molo), Raja Pae Nope (Kerajaan Amanuban), dan Raja Kolo Banunaek (Kerajaan Amanatun).
Meski selalu berada di bawah penindasan kolonial, beberapa kali Kerajaan Amanatun melakukan perlawanan terhadap penjajah. Raja Muti Banunaek II yang memerintah pada kurun 1900-1915 pernah diasingkan ke Ende, Flores, pada 1915, karena tidak mau takluk kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sang raja yang pemberani ini tinggal di tanah pembuangan hingga akhir hayatnya, wafat pada 1918. Setelah Indonesia merdeka, Kerajaan Amanatun bersama Kerajaan Molo dan Kerajaan Amanuban membentuk Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan ibu kota Soe, yang sekarang termasuk ke dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Adapun raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Amanatun adalah sebagai berikut: Tnai Pah Banunaek, Tsu Pah Banunaek, Nopu Banunaek, Bnao Banunaek I, Nifu Banunaek, Kili Banunaek, Bnao Banunaek II, Nono Luan Banunaek, Bnao Banunaek III, Bnao Banunaek IV, Bab'i Banunaek, Bnao Banunaek V (Bnao Nunkolo), Kusat Muti (Muti Banunaek I), Loit Banunaek, Muti Banunaek II, Kusa Banunaek, Kolo Banunaek (Abraham Zacharias Banunaek), serta Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja Laka Banunaek). Profil dan riwayat singkat masing-masing raja Amanatun ini disajikan dengan cukup gamblang oleh penulis.
Menurut kajian Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek, sistem pemerintahan Kerajaan Amanatun sering berganti-ganti seiring perubahan zaman dan kondisi politik. Kerajaan Amanatun seringkali terpaksa mengikuti kebijakan pemerintah kolonial, dari Portugis, Belanda, hingga pada zaman pendudukan Jepang. Ketika Negara Republik Indonesia terbentuk pun Kerajaan Amanatun kemudian melebur dan menjadi bagian dari negara kesatuan tersebut, kendati tidak lagi berupa kerajaan yang semi-otonom.
Setelah menjadi bagian NKRI, pusat pemerintahan Amanatun dipindahkan ke Kota Oinlasi dan hingga kini menjadi ibukota Kecamatan Amanatun Selatan. Bentuk pemerintahannya pun berubah menjadi daerah swapraja. Raja Laka Banunaek menjadi Kepala Daerah Swapraja Amanatun pertama. Jika di tengah-tengah pemerintahan sang raja meninggal dunia, maka sebagai penggatinya diangkatlah seorang Wakil Kepala Daerah Swapraja dari keturunan bangsawan.
Pemimpin Kerajaan Amanatun bersama dengan raja-raja lainnya yang tergabung di dalam Dewan Raja-Raja ikut berperan penting dalam pembentukan Provinsi NTT di mana sebelumnya wilayah ini termasuk ke dalam Provinsi Sunda Kecil. Pemerintah Indonesia sendiri yang kala itu masih berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) telah menguatkan berdirinya NTT dengan beberapa perkembangan kebijakan. Terakhir, melalui UU No. 69 Tahun 1958, terbentuklah daerah Swatantra Tingkat II di Nusa Tenggara Timur dengan 12 Kabupaten.
Sementara itu, tentang kelompok suku yang paling dominan dalam struktur sosial masyarakat Amanatun, buku ini menyebutkan nama Suku Missa, selain suku-suku lain yang lebih kecil jumlahnya seperti Suku Tkesnai, Suku Amafnya, Suku Nai Usu, dan lain-lainnya. Populasi penduduk Kerajaan Amanatun relatif tinggi. Tahun 1870, misalnya, tercatat jumlah penduduk Kerajaan Amanatun sudah melebihi angka 12.000 jiwa.
Buku ini juga membahas tentang kepercayaan masyarakat lokal. Sebelum agama Nasrani yang dibawa Portugis masuk, penduduk Timor, termasuk warga Kerajaan Amanatun, masih berkeyakinan kepada suatu kepercayaan akan adanya Dewa Langit atau Uis Neno yang dinggap sebagai pencipta alam dan pemelihara kehidupan di dunia. Beberapa ritual upacara yang ditujukan kepada Uis Neno terutama bermaksud untuk meminta hujan, sinar matahari, mendapatkan keturunan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Orang Timor juga percaya kepada Dewa Bumi alias Uis Afu, juga sering disebut sebagai Dewi Uis Neo. Upacara yang ditujukan kepada Dewi Uis Neo adalah meminta berkah bagi kesuburan tanah yang sedang ditanami. Di samping itu, masyarakat Amanatun juga mempercayai adanya makhluk-makhluk gaib yang mendiami tempat-tempat tertentu, seperti di hutan, mata air, sungai, dan pohon yang dianggap keramat. Ritual-ritual untuk menyucikan makhluk-makhluk gaib itu sering dilakukan dengan dipimpin oleh pejabat desa sekaligus pemuka adat.
Selain itu, roh-roh nenek moyang yang dianggap mempunyai pengaruh yang luas kepada jalan hidup manusia, juga disucikan oleh warga adat Amanatun. Berbagai malapetaka yang datang dinilai sebagai tindakan atau peringatan dari arwah leluhur terhadap mereka yang telah lalai dan berbuat jahat.Meskipun agama Kristen yang dibawa Portugis pada akhirnya secara formal telah diterima dan dipeluk oleh sebagian besar dari penduduk Timor, namun sebagian besar dari mereka masih percaya akan adanya dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, roh nenek moyang, dan percaya akan ilmu sihir.
Akhir kalam, buku ini diharapkan dapat membantu usaha-usaha historiografi dan penelusuran hal-ihwal sejarah lokal di luar Jawa, terutama di Indonesia bagian timur yang selama ini kerap luput dari perhatian kaum sejarawan. Dengan dilengkapi arsip-arsip penting termasuk undang-undang, silsilah raja-raja, peta Timor dari masa ke masa, serta foto-foto orisinil sebagai sumber pendukung, Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek, nyaris sempurna dalam mengupas sejarah leluhurnya, nenek moyang bangsa Timor.

0 Response to "Menelusuri Jejak Leluhur Timor"

Posting Komentar

Search

Powered by Blogger